Pendahuluan
Surizkifebrianto.id – Tindak pidana merupakan problematika sosial yang telah dialami umat manusia sejak dahulu kala. Pada saat ini tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa namun anak-anak juga turut menjadi pelaku tindak pidana. Orang yang melakukan tindak pidana haruslah diproses sesuai hukum yang berlaku. Namun pada perkembangan sistem hukum pidana membedakan bentuk proses hukum terhadap orang dewasa sebagai pelaku dan anak sebagai pelaku.
Penanganan anak yang menjadi pelaku tindak pidana, aparat penegak hukum senantiasa wajib memperhatikan syarat anak yang tidak sama dari orang dewasa. Adapun alasan lain kenapa penegakan hukum terhadap anak dibedakan dengan orang dewasa adalah karena pertumbuhan mental anak belum sematang orang dewasa sehingga anak berpotensi tidak dapat membedakan yang mana benar dan mana yang salah.
Lalu alasan lainya sistem penegakan hukum yang biasa dilakukan terhadap orang dewasa bisa memakan waktu yang lama sehingga dapat memengaruhi tumbuh kembang anak selain itu anak merupakan penerus dan harapan bangsa sehingga hak-haknya dilindungi dalam hukum kita.
Pengaturan Hukum
Mengenai landasan hukum penegakan hukum terhadap anak berbeda dengan landasan hukum penegakan hukum terhadap orang dewasa. Para Penegak hukum harus senantiasa berpedoman terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang perlindungan anak dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut sebagai Undang-undang SPPA.
Mengenai batasan umur anak dalam Undang-undang Peradilan Anak apa yang dimaksud dengan anak adalah individu yang berumur dibawah 18 tahun. Sedangkan dalam UU SPPA membagi kategori anak dengan Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Lalu dalam Pasal 2 Undang-undang SPPA menyebutkan bahwa dalam penegakan terhadap anak harus memperhatikan asas-asas yaitu :
- Pelindungan;
- Keadilan;
- Nondiskriminasi;
- Kepentingan terbaik bagi Anak;
- Penghargaan terhadap pendapat Anak;
- Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
- Pembinaan dan pembimbingan Anak;
- Proporsional;
- Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
- Penghindaran pembalasan” Asas tersebut diataslah yang menjadi pedoman bagi para penegak hukum
Karena sesungguhnya dalam menangani perkara anak hendaknya berpedoman pada prinsip bahwa penyelengaraan peradilan pidana anak diharapkan berpegang teguh pada prinsip bahwa peradilan pidana anak merupakan usaha integral untuk kesejahteraan anak.
Baca juga: Tantangan dan Solusi Pengaturan Hukum Perjanjian Jual Beli di Era Digital
Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Perbedaan sistem peradilan terhadap dewasa dan anak adalah dalam sistem peradilan pidana anak mengenal konsep diversi. Diversi merupakan instrumen dari keadilan restoratif. Oleh karena itu antara diversi dan keadilan restoratif memiliki tujuan yang sama yaitu mengutamakan pendekatan yang lebih humanis dibandingkan penghukuman semata dengan memulihkan hak-hak korban.
Dalam Undang-undang SPPA mengartikankKeadilan restoratif penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Untuk menerapkan keadilan yang restoratif tersebut adalah mekanisme diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Dalam prosesnya diversi dilaksanakan dengan bantuan banyak elemen yaitu melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/keluarga korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Namun tentu saja penegakan hukum restoratif juga harus memperhatikan beberapa hal yang utama adalah diversi hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Lalu juga dalam proses diversi harus lah memperhatikan:
- Kepentingan korban;
- Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
- Penghindaran stigma negatif;
- Penghindaran pembalasan;
- Keharmonisan masyarakat; dan
- Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Mengenai konsep penyelesaian pidana diluar pengadilan sendiri sesungguhnya sudah dikenal sejak lama apalagi dalam paradigma hukum progresif dan aspek sosiologi hukum. Seperti yang disebutkan dalam buku hukum progresif yang ditulis oleh Satjipto Rahardjo bahwa penyelesaian perkara diluar persidangan merupakan hal yang biasa jika kita mengkaji dalam aspek sosiologi hukum. Sosiologi hukum melihat pada fungsi. Bahwa pengadilan itu dapat hadir dimana mana, tidak terikat pada bentuknya.
Referensi:
- Azwad Rachmat Hambali, Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana (Diversions for Children in Conflict with The Laws in The Criminal Justice System), E-journal Balitbangkumham, 2019
- Fiska Ananda, Penerapan Diversi Sebagai Upaya Penegakan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, Jurnal Daulat Hukum, Vol 1 no 1, 2018
- Maidin Gultom, Penegakan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Rafika Aditama, Bandung, 2014
- Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif, Kompas, Jakarta, 2010
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
- Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak