Surizkifebrianto.id – Kejahatan merupakan salah satu problem manusia yang paling tua, karena sifat alami manusia yang terus mencari kepuasan diri sendiri hingga untuk memenuhi kepuasan itu terkadang mengorbankan hak orang lain sehingga mengganggu ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Negara sebagai entitas yang punya wewenang memiliki tugas untuk melindungi hak semua orang dan menjaga ketertiban masyarakat di masyarakat dengan mencegah kejahatan. Salah satu instrumen dari negara untuk menjaga ketertiban adalah menggunakan hukum pidana dan pemidanaan. Pemidanaan adalah segala proses dalam menerapkan sanksi bagi orang yang dianggap telah melakukan tindak pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief apabila pengertian pidana diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, dapat dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi. Hukum Pidana di Indonesia masih menggunakan KUHP terjemahan dari hukum pidana belanda Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang diberlakukan pada tahun 1918 dan digunakan setelah kemerdekaan berdasarkan aturan peralihan. Meskipun sampai sekarang banyak penyesuaian dan revisi terhadap KUHP warisan belanda wacana perumusan KUHP Baru yang pada akhirnya pada 6 Desember 2022 DPR meng-sah kan Rancangan KUHP menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 2023.
Konsep Pemidanaan
Terdapat 3 teori besar mengenai pemidanaan. Yaitu teori retributif yaitu teori yang menekankan bahwa pidana hanya semata-mata sebagai pembalasan terhadap terpidana yang telah melakukan tindak pidana. Pidana dianggap sebagai tuntutan mutlak yang diberikan kepada seseorang sebagai balasan nyata dari perbuatannya. Filsuf Immanuel Kant berpandangan, Pidana yang diterima seseorang sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya, bukan suatu konsekuensi logis dari suatu kontrak sosial.
Selanjut ada teori pemidanaan relatif atau biasanya juga teori pemidanaan tujuan, teori ini memiliki pandangan bahwa pidana tidak bertindak sebagai pembalasan tapi pidana diberikan untuk mencapai tujuan yang lebih luas untuk menertibkan dan memberi kesejahteraan bagi masyarakat serta fungsi pencegahan.
Tujuan pemidanaan sebagai pencegahan memiliki arti bahwa pemidanaan dimaksudkan untuk mencegah seseorang untuk melanggar ketertiban masyarakat dan juga mencegah seorang yang telah dipidana untuk mengulangi perbuatannya lagi. Teori pemidanaan yang terakhir adalah teori gabungan yang menggabungkan teori retributif dan relatif. Teori ini memiliki anggapan bahwa pidana dijatuhkan sebagai balasan terhadap terpidana serta untuk menjaga ketertiban masyarakat juga.
Mengenai konsep pemidanaan yang digunakan dalam KUHP lama tidak secara jelas teori apa yang digunakan dalam KUHP. Namun jika kita melihat dari aturannya KUHP lama lebih menekankan pada hukuman dengan cara yang lebih represif. Konsep restoratif tidak dijelaskan dalam KUHP lama namun hanya di tunjang dengan peraturan-peraturan pelaksana dari instansi. Sedangkan di KUHP baru mendepankan pendekatan yang lebih restoratif dan lebih bersifat rehabilitatif untuk memulihkan hubungan antar pelaku, korban, dan masyarakat. Juga mengenai tujuan pemidanaan juga dijelaskan secara jelas dalam KUHP baru yaitu pasal 51 yang menunjukan pemidanaan untuk:
- mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;
- memasyaralatkan terpidana dengan mengadalkan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yangbaik dan berguna;
- menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan
- menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Jadi dapat dipahami konsep pemidanaan pada KUHP baru lebih menekankan pada keseimbangan dengan pendekatan yang humanis memulihkan hak korban dan meperbaiki diri pelaku.
Baca juga: Tantangan dan Peluang Dinamika Hukum Agraria di indonesia
Stelsel Sanksi Pidana Dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Sanksi pidana merupakan siksaan yang dijatuhkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana .Dalam KUHP lama sanski pidana diatur dalam pasal 10 pasal ini membagi jenis sanksi pidana menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dalam KUHP lama terdiri atas:
- pidana mati,
- pidana penjara,
- pidana kurungan,
- pidana denda,
- pidana tutupan
sedangkan pidana tambahan berupa
- pencabutan hak hak tertentu,
- perampasan barang-barang tertentu,
- pengumuman putusan hakim.
Sedangkan dalam kuhp baru membagi jenis pidana dengan pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu yang di tentukan dalam undang-undang. Dalam KUHP baru yang beberapa Pidana pokok berupa:
- pidana penjara;
- pidana tutupan;
- pidana pengawasan;
- pidana denda; dan
- pidana kerja sosial.
Sedangkan pidana tambahan dalam KUHP baru berupa:
- pencabutan hak tertentu;
- perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan;
- pengumuman putusan hakim;
- pembayaran ganti rugi;
- pencabutan izin tertentu; dan
- pemenuhan kewajiban adat setempat.
Dan perbedaan stelsel sanski dalam KUHP lama dan KUHP baru adala, dalam KUHP baru tidak lagi dimasukan hukuman mati sebagai pidana pokok namun pidana mati menjadi pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu yang di tentukan dalam undang-undang. Pidana mati menjadi hukuman yang hanya bisa di dakwakan dalam dakwaan alternatif hal ini dipengaruhi oleh perdebatan apakah pidana mati harus dimasukkan dalam rancangan kuhp baru atau tidak serta dipengaruhi juga oleh semangat Hak Asasi Manusia di politik dunia.
Referensi:
- Anis Widyawati, Ade Adhari, Hukum Penitensier Indonesia Konsep Dan Perkembangannya, RajaGrafindo Persada, Depok, 2020.
- Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan penyusunan KUHP baru), Prenada Media Group, Jakarta, 2010.
- Rizki Yudha Bramantyo, Perbandingan Hukum Pidana KUHP Lama Indonesia dengan KUHP Baru Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana, Jurnal transparasi hukum, 2024.